Anak Agung Bikin Keris untuk Presiden

Perkembangan dunia politik tidak heran berpengaruh besar pada kreativitas berkesenian, tidak terluput pula pada seni membuat benda budaya tradisi asli Indonesia yang namanya keris.
Pikiran ini terbersit di benak Anak Agung Gede Waisnawa Putra, tiga tahun menjelang akhir jabatan Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2011. Bagaimana kalau ia bikinkan saja “Keris untuk Presiden”?
“Waktu itu sosok Jokowi belum muncul sebagai tokoh nasional, ia masih Walikota Solo. Tetapi pasti, 2014 RI bakal memiliki presiden baru, lantaran SBY sudah dua kali menjabat,” tutur ‘penglingsir’ (tetua) dari Puri Gianyar Bali – garis keturunan raja Bali di zaman kerajaan Gelgel – ini pula.
Sosok keris yang dirancangnya untuk Presiden Baru ini kemudian ditempa dan digarap Empu muda dari Madura, Empu Jamil berwujud “Keris Garuda Murti”, atau Garuda yang berubah wujud. Keris dengan relief kepala Garuda di ‘gandhik’ (bagian depan bilah bawah) namun berbadan Singa.
“NKRI (Negara Kesatuan RI) kala itu sedang lemah, beberapa daerah ingin memerdekakan diri, Aceh, dan Papua. Timor Timur bahkan sudah merdeka. Garuda adalah pengejawantahan sosok NKRI,” kata Anak Agung, yang ditemui di Puri Anyar Saraswati, istana kecil bagian dari Puri Gianyar Bali awal Juli lalu.
“Pemerintah yang lemah (Garuda) perlu didukung ‘people power’, kekuatan rakyat, diwujudkan dengan badan singa. Garuda Murti adalah perwujudan dua kekuatan menyatu,” ungkap ayah dari tiga anak, yang kesemuanya taat menjalankan berbagai ritual dalam tradisi Hindu Bali ini.
Jadilah, sebuah sosok keris kekar berkelok (luk) sembilan yang ia sebut sebagai keris yang bergaya Nusantara. Perpaduan berbagai unsur daerah di Indonesia.
“Perancangnya Bali, tempaan Madura, sarung (warangka) Bali jenis Kojongan dari bahan kayu Cendana NTB, dihias kinatah (tatahan di bilah) emas oleh Sarju perajin emas Jogjakarta namun bahan emas asal Palembang, dengan mata Garuda terbuat dari intan Martapura,” katanya. Sosok keseluruhan kerisnya gagah. Sarungnya berhiaskan relief ‘sunggingan’ (teknik lukisan wayang) menggambarkan adegan Ramayana, saat Garuda Jatayu menyabung nyawa, menyelamatkan Dewi Sinta – isteri Prabu Ramawijaya – dari cengkeraman raksasa Rahwana penculiknya.
Tetapi setelah keris bergagang emas Narasinga (awatara atau avatar Wisnu yang turun ke bumi sebagai penyelamat) ini selesai dibikin, keris itu tak berhasil diserahkan ke pada Presiden RI yang baru Presiden Joko Widodo (2014) yang biasa dipanggil Jokowi, karena berbagai kendala.
“Selain kendala, saya tak punya akses ke lembaga kepresidenan, juga lantaran ada ketakutan kalau-kalau presiden baru (kala itu) dituding suara miring dapat gratifikasi, jika menerima keris ini,” kata Anak Agung. Padahal, kan bisa misalnya, keris ini dianggap saja sebagai aset negara dan nantinya disimpan di Istana, seperti halnya lukisan-lukisan karya para maestro yang terus lestari sampai sekarang.
Alhasil, keris mewah yang dibuat untuk presiden itu masih terus disimpan Anak Agung di Puri Anyar Saraswati di Gianyar Bali, sampai suatu ketika siapa tahu – keris itu bisa tinggal di Istana kepresidenan.
Konsep pelestarian budaya keris, bagi Anak Agung memang bukan konsep asal laris dagang keris dan dapur ngebul, akan tetapi menularkan budaya warisan nenek moyang ke orang sekitar. Apalagi, lembaga dunia dari PBB, Unesco (Paris 25 November 2005), mengakui sisi ‘intangible’ (lisan dan tak benda) tradisi keris sebagai karya agung warisan kemanusiaan asli Indonesia.
Apa yang dilakukannya? Sebagai orang Bali, Anak Agung sejak lebih dari satu dasawarsa ini rajin “menarik balik” keris-keris Bali yang bertebaran di luar Bali, baik dari berbagai tempat Indonesia, maupun dari luar negeri untuk dikembalikan ke Bali.
“Boleh dikata, 99 persen dari (ratusan) koleksi saya, datang dari luar Bali. Banyak di antaranya dari Jakarta, atau dari lelang keris luar negeri, di antaranya dari Belanda, Inggris, Jerman, Amerika,” katanya. Tahun lalu, misalnya, ia ‘ngebid’ (bidding) keris melalui lelangan internet dari Israel. Namun karena Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, maka keris berlekuk 19 dan lekuk 9 yang berhasil dibelinya dari sebuah balai lelang Israel itu dikirim ke Indonesia melalui London, Inggris.
“Perlu dua sampai tiga bulan untuk sampai di Indonesia,” katanya. Harga perbilah relatif murah untuk sebuah keris pusaka, berkisar Rp 20 jutaan. Ternyata, keris luk 19 yang dibelinya dari Israel itu dulunya berasal dari Puri (Istana) Karangasem, Bali, puri tempat muasal isterinya, Anak Agung Ayu Sasih.
Dari Belanda dalam kurun tahun 2008-2010, Anak Agung membeli setidaknya tujuh keris. Pada 2008, ia mendapat keris lekuk 9 modelnya aneh, tidak pakem, dari Jerman. Apakah semuanya disimpan untuk koleksi sendiri? Ternyata tidak.
Rupanya di Bali tidak semua pura (tempat ibadah agama Hindu) memiliki “pratima” (benda yang disakralkan) berbentuk keris. Padahal, setiap enam bulan sekali ada upacara adat yang namanya “Tumpek Landep”, atau menajamkan kembali keris-keris agar kembali “segar”. Ibarat ponsel, setiap kali perlu dicas lantaran baterai lemah (low batt). Kini beberapa anggota masyarakat dari pura di Gianyar, dan bahkan luar Gianyar, pada berdatangan memesan pusaka pada Anak Agung agar dicarikan keris untuk dijadikan pratima (disungsung) di pura mereka.
Tahun 2014, misalnya, sekitar 500 orang asal Bangli datang berjalan kaki menjemput pusaka di Puri Saraswati tempat tinggal Anak Agung di Gianyar. “Orang sedesa lengkap dengan gong, datang menjemput pusaka,” Keris, yang semula didapat Anak Agung dari luar negeri tanpa sarung (warangka) pun, dilengkapinya dengan warangka baru, terbuat dari kayu pilihan.
Di Bali, warangka keris tidak dibuat dari sembarang kayu. Akan tetapi harus dari “kayu yang bertaksu”, alias kayu yang dianggap memiliki tuah. Salah satu yang paling langka, adalah warangka kayu Mangga Raja dengan pelet (corak belang-belang) gringsing. Dinamakan pelet gringsing, lantaran kayu ini hanya ada di Tenganan, Pegringsingan di kawasan masyarakat Bali kuno, Bali Age. Kayu Mangga Raja ini hanya boleh ditebang jika pohon mangga pakel di Bali Age itu mati secara alami. Kayu dengan pelet gringsing, di Bali dinilai sebagai kayu bertaksu tertinggi.
“Ada kepuasan sendiri, keris yang saya dapat dari luar Bali itu dijadikan pratima, dan disungsung (disimpan) kembali di Pura-pura Bali, dijemput ratusan masyarakat dari desa adat. Bangga, bisa bermanfaat bagi orang banyak,” tutur Anak Agung.
Kejadian penjemputan pusaka oleh ratusan anggota masyarakat adat Bali ini setidaknya tiga kali terjadi.
Juga keris baru
Anak Agung tidak hanya mengembalikan keris-keris kuno dari luar ke Bali, akan tetapi juga menciptakan disain baru keris Bali. Tahun 2010, keris rancangannya yang digarap empu muda asal Surabaya, Empu Rudi Hartonodiningrat, bahkan tampil sebagai juara di acara Keris for the World di Jakarta.
Anak Agung juga khusus memesankan keris-keris baru untuk dihibahkan pada kelompok masyarakat di Bali. Termasuk di antaranya, untuk para “pecalang” (perangkat pengamanan desa yang ditunjuk secara adat), serta para tokoh budaya, dan pemuka adat. Sudah ratusan tokoh di Bali ia bikinkan keris.
“Maksudnya, agar mereka juga memiliki keris, karena ternyata banyak di antara mereka yang hanya menyandang warangka saja, sementara bilah keris di dalamnya hanya logam putih (keris-kerisan),” tutur Anak Agung.
Anak Agung sendiri adalah Penasehat Utama Pecalang se Kabupaten Gianyar. Sudah sejak 2010, 2011, 2013 dan 2016 ia hibahkan lebih dari 200-an bilah keris kepada para pecalang desa adat. Kesemua keris itu dipesannya pada Empu Jamil dari Madura. Dan saat ini bahkan masih ia pesankan lagi 100 bilah keris, untuk pecalang binaannya yang belum kebagian.
Tahun 2013, ia juga serahkan 45 bilah keris kepada para ‘Bendesa’ (ketua adat) se Kabupaten Gianyar. Ia juga serahkan keris-keris pesanan baru untuk delapan orang tokoh pelestari budaya Bali di Provinsi Bali.
Para Bendesa yang sudah menerima kerisnya di antaranya dari Gianyar, Bangli, kabupaten Badung, Mengwi dan Kodya Denpasar. Itu belum semua. Masih ada lagi pesanan keris pusaka untuk desa adat lainnya di Denpasar, Tabanan dan Gianyar yang belum terpenuhi.
Yang paling menarik, kata Anak Agung, belakangan ada anak-anak muda generasi modern di Bali yang khusus pesan keris untuk dipakai menikah. Sudah ada empat pasang calon pengantin yang memesan padanya, tergantung budget masing-masing. Ada yang memakai hiasan mewah emas berlian, yang paketnya bisa mencapai 30-40 juta.
“Prinsipnya, dalam perkawinan di Bali, orang nikah harus pakai keris sungguhan. Pernikahan itu sakral. Kalau waktu menikah tidak pakai keris asli, orang Bali mengatakan mereka kawin main-main…,” tutur Anak Agung, yang sehari-hari saat ini lebih banyak tinggal di Jakarta, namun hampir setiap akhir pekan pulang ke Gianyar.
Kesibukannya kini sebagai seorang Direktur perusahaan jaringan Lotte Korea, ia juga pernah 25 tahun menjabat direktur di perusahaan nasional terkemuka ASTRA sampai tahun 2016 lalu mengharuskannya tinggal di luar Bali.
Sosoknya yang santun dan pelestari budaya Bali, membuat dirinya dikenal luas di kalangan perkerisan nasional. Di Bali, selain ia sering mengisi ceramah tentang keris, ia juga rajin mendatangi pura yang memiliki pratima keris, tetapi tidak pernah memelihara bahkan takut menyentuh keris pusaka mereka. Banyak di antara pratima keris, yang tersimpan di pura tanpa sarung, lantaran sarung yang biasa terbuat dengan lapisan emas, sudah lama hilang atau dijual.
Pratima keris yang kurang terawat itu, kemudian dibikinkannya sarung atau warangka baru oleh Anak Agung secara cuma-cuma, untuk disungsungkan kembali menjadi pusaka pura.
By Jimmy S Harianto
Versi edited dari Sosok yang pernah dimuat di Kompas 19 Juli 2017
No Responses